Senin, 29 Oktober 2012

Kapal Belum Belabuh, Kapten!!!


Bandung, 2012


Tepi pantai masih sangat luas untuk berlari, terasa lepas bebas bukan saat kita berlari dan berteriak ditepi pantai, sekalipun kita menangis tak akan ada orang yang terlalu mendengar karena deru ombak yang begitu bergemuruh. 
Coba melihat gunung masih terlihat gagah untuk didaki, terlihat sangat keren bukan bila kita mampu menaklukan gunung yang sebelumnya belum pernah terpikir untuk menggagahinya. Menikmati segala keindahanya pada senja yang  mahal, sangat syahdu seakan alam mengerti  deru hati.
Semua rasa itu sudah pernah saya nikmati, sudah saya rasakan jauh sebelum saya ada dipersimpangan hidup seperti ini. Persimpangan yang jauh dari rasa bebas seperti dipantai, jauh dari rasa syahdu seperti digunung. Alam menyuruhku pulang.
Ingin sekali memberitahu-nya, kabar saya disini tak baik-baik.  Disini tak boleh berlari, disini mereka tak mengerti kalau hanya berdiam. Banyak hal yang harus dikerjakan untuk mempertahankan hidup. Sangat mudah memang mendengarnya “untuk mempertahankan hidup”. Tapi saya sangat resah untuk memperjuangkan agar hidup tetap bisa dinikmati semanis mungkin. Apa dengan menitipkan selembar ijazah pada satu perusaahaan akan menjamin kebahagiaan? Saya pun tak enggan mencoba menjajakan selembar ijazah yang saya pikir lama-lama kertas itu akan usang juga.
                Hidup itu bukan pilihan, lebih tepatnya adalah tuntutan. Yah, menuntutku untuk lulus tepat waktu. Menuntutku untuk kuliah dijurusan yang bukan saya mau. Saya gagal menjadi sarjana pendidikan, sampai saat ini keinginan untuk mengajar belum juga diberi jalan. Yah inilah orang yang tak berani bermimipi. Mimpinya hanya sebatas ketika ia tertidur. Cita-cita nya semasa SD, SMP, SMA, kuliah tetap menjadi cita-cita.
                Yaah, karena kasih seorang Ibu. Dia tak membiarkanku pergi jauh, mungkin dia tak rela jika anak bungsunya terdampar sendiri dikota orang berbekal selembar ijazah. Dia terlalu sayang, dia tak membiarkanku berlari, dia tak membiarkanku bermimpi. Dia hanya tak tega  melihat aku gagal dalam berkompetisi.
                Saya mengurungkan niat untuk pergi jauh melihat dunia, saya membatalkan janji dengan kota yang ingin saya kunjungi. Saya ingin mematikan lampu kamar untuk terus bermimpi, karena dikamar inilah saya punya mimpi yang begitu besar. Berharap ketika saya membuka mata dan keluar kamar semuanya akan tetap baik-baik saja.