Tiga bulan
yang lalu saat masih memegang 2 buah ATM, kadang terisi penuh dan tak jarang
limit. Seperti mesin pencetak uang, sekali limit “kring” bunyi sms banking
mengirimkan transferan. Entah datangnya dari Emak (Ibu) atau kakak, yang saya
tau mereka menyimpan nomer rekening tabunganku dalam phonebooknya.
Dasar mahasiswa, skali ditransper langsung
setengah dari sebulan uang jajan langsung ludes sehari. Bukan keren atau
gimana, bawaannya “gatel” kalo nimbun uang lama-lama di bank.
Bumi itu
bulat serasi dengan kehidupan, sayangnya kehidupan tak akan pernah kembali ke
koordinat yang sama. Kehidupan juga tak semulus bumi kala dipandang dari bulan.
Ada mulus, dan berkerikil seperti lulusan sarjana yang senasib dengan aku ini. Bukan
tidak bahagia, yang paling berat yaitu menerka orang tua kita. Sudah merasa
bangga atau bahagiakah mereka dengan bayi yang dilahirkan 22 lalu? Merasa malu
atau kurang percaya diri bila satu waktu aku ingin bertanya “Ma, bahagiakah ema
memiliki Kiki?” aku menunggu dan belum ada jawaban, sudah sangat jelas aku
sangat bahagia dimiliki Emak. Aku termasuk anak yang gengsi untuk
bermanja-manjaan sama orang tua sendiri. Bisa dihitung ema memeluk dan mencium
pipi-ku, sebaliknya seperti itu. Kami menunjukan rasa kasih dengan bercanda dan
saling mengejek sama lainnya. Aneh bukan? Ya, hubungan kami tidak ada yang
salah. Kami bahagia.
Ini sebagian
kecil alasan untuk selalu ada didekat emak, aku tak mau jauh dan menjauh dari
emak sampai dia mencium pipi-ku lagi, seperti malam itu sepulang sidang skripsi
emak mencium dan memeluk walau terhitung hanya beberapa detik saja, wajahku
kaku tapi hatiku haru membiru. Aku juga berat meninggalkan rumah ini dan segala
partikel yang ada didalamnya termasuk beberapa tukang yang pandai menjahit,
puluhan tahun ikut berkeringat meng-kenyangkan perutku. Sudah terjalin hubungan
mutualisme yang seirama.
Merasa ingin
bertanggung jawab saja, melihat emak sudah mulai lelah mengurus semua isi
partikel rumah ini. Semenjak Bapak meninggal emak mengurus semua sendiri, bukan
hal yang ajaib seorang ibu biasa berubah menjadi pemimpin para penjihad (penjahit)
di rumah produksi. Bisa saja melepas semua penjihad ini sama saja kita memutus
harapan dan silaturahmi yang sudah dibangun lama semenjak masih ada bapak,
bahkan sebelum saya lahir. Kadang hasil yang dirasa tak seberapa, tapi ya
karena rasa bersyukur kita semua terasa nikmat dan dinikmati untuk kelangsungan
nafas kita semua.
Menimba ilmu
tidak hanya dalam pendidikan formal saja, bapak aku sekolah tak tinggi tapi dia
guru sepanjang masa. Bapak pandai memikirkan strategi, memproduksi, memasarkan
dan mengajarkan mendesain mimpi indah. Terbukti, kemampuannya ditiru sama kakak
sulung perempuanku. Entah mungkin jiwa nya dicangkok dari jiwa bapak
sebagian. Dia wanita kuat, ya seperti
bapak. Cerdas, tepat dan tegas. Dia mempunyai konveksi kecil, karena ketekunannya
sekarang menjadi konveksi yang alhamdullilah bisa dibilang melebihi ilmu yang
yang bapak terapkan.
Sebenarnya
aku ragu-ragu dan merasa tak percaya diri turut serta dalam peperangan sengit
ini (perkonveksian), seminggu ini aku di titipkan 10 rol kain spandek dan 3
penjahit dan diberi target untuk memenuhi pelanggan dengan membuat ratusan potong
mukena. Dan seminggu ini juga aku menggauli benang jahit, karet, jarum, sleting
dan sedikit rada kaku “menyemangati” tiga bapak yang menjahit yang dikejar
target.
Pemandangan
yang tak biasa aku sering bolak-balik ke tempat jahit, berkomunikasi dengan
penjahit, aku tau dalam hatinya emak tersenyum melihat anak bungsu nya memilah
memilih benang yang cocok dengan bahan. Tanpa berpandang mata, hatiku bergumam “Terima
kasih emak memberikan kesibukan dirumah sendiri, ini kesibukan yang super. Aku
belajar dari keringatmu”.
Semoga
berberkah untuk semua. Terutama bapak yang telah mengamalkan ilmunya.
“Terimakasih
banyak pa, aku rindu”.